ruang portal – Wacana untuk mengubah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga ad hoc dengan masa kerja dua tahun kembali mengemuka di DPR pekan lalu. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI beralasan bahwa langkah ini diusulkan agar KPU bisa bekerja lebih efektif dan tidak menguras anggaran negara. Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, pun angkat bicara.
Agenda untuk mengevaluasi penyelenggara pemilu menjadi salah satu topik hangat yang didorong untuk dibahas dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. KPU dianggap hanya efektif selama dua tahun saat pemilu dan pilkada serentak, sementara tiga tahun sisanya, mereka hanya disibukkan dengan bimbingan teknis (bimtek) yang dianggap boros anggaran.
Dalam rapat dengar pendapat umum di DPR, Senayan, Jakarta, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, menilai KPU dan Bawaslu tampak hanya efektif bekerja dalam dua tahun. Ia mempertanyakan relevansi eksistensi KPU dan Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota setelah pemilu serentak selesai.
Saleh pun sependapat bahwa KPU sebaiknya menjadi lembaga ad hoc. Menurutnya, KPU akan lebih efisien dan tidak menghabiskan anggaran jika masa jabatannya dibatasi dua tahun. Ia menilai kegiatan bimtek KPU sering kali tidak jelas tujuannya. “Kebanyakan untuk tahun ketiga sampai kelima, mereka [KPU] itu hanya datang bimtek ke Jakarta. Enggak tahu juga kita apa yang dibimtekan itu,” ujarnya dengan nada skeptis.
Namun, peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, mengingatkan bahwa jika KPU menjadi lembaga ad hoc, maka setiap periode akan diisi oleh anggota baru. Ini berpotensi mengurangi pengalaman dan pengetahuan yang penting untuk menyelenggarakan pemilu yang profesional dan minim konflik. KPU yang bersifat permanen seharusnya memiliki kesempatan untuk menjaga kesinambungan kebijakan dan meningkatkan kualitas pemilu.
Arif juga menyoroti bahwa pemilu di Indonesia melibatkan infrastruktur yang kompleks, termasuk teknologi informasi untuk pemutakhiran data pemilih dan rekapitulasi suara. Jika KPU hanya beroperasi sebagai lembaga ad hoc, ada risiko sistem tidak sepenuhnya matang karena waktu kerja yang terbatas.
DPR pun dikhawatirkan semakin ugal-ugalan dalam memilih anggota KPU jika KPU menjadi lembaga ad hoc. Dengan status ini, seleksi anggota KPU akan lebih sering dilakukan, membuka peluang terjadinya politisasi dalam pemilihan anggota KPU. Arif menegaskan bahwa sebagai lembaga ad hoc, KPU mungkin akan bergantung pada pengawasan DPR untuk akuntabilitas, yang bisa mempengaruhi kemandirian KPU.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai wacana ini bertentangan dengan konstitusi yang mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu. Ia menekankan bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus dirancang sebagai badan yang tetap, bukan ad hoc.
Sementara itu, peneliti dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai bahwa menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc dapat menciptakan inefisiensi dan ketidakefektifan kinerja. Setiap pergantian anggota KPU akan memerlukan proses adaptasi yang tidak hanya memakan waktu, tetapi juga sumber daya.
Di sisi lain, Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) melihat tidak ada masalah menjadikan KPU lembaga ad hoc jika tetap menyesuaikan model penyelenggaraan pemilu. Namun, ia mengingatkan agar usulan ini didalami dengan serius, terutama soal independensi penyelenggara pemilu.
Anggota KPU RI, August Mellaz, menegaskan bahwa pihaknya hanya mengikuti undang-undang yang berlaku dan siap memberikan masukan jika DPR memanggil mereka untuk membahas revisi UU Pemilu. “Kita saat ini sudah merampungkan evaluasi Pemilu kemarin. Tentu jika DPR memanggil untuk membahas soal evaluasi kelembagaan KPU, kami siap memberi pandangan,” tutup Mellaz.
Sumber Tirto/SS